A. Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Sebagaimana disebut diatas bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang berkaitan dengan martabat manusia. Beberapa konsep yang menjadikan dasar filosofi dari hak asasi manusia antara lain; justifikasi atau pembenaran dari prinsip-prinsip moral. Prinsip-prinsip tersebut yang kemudian mengatur atau mengelola bagaimana seharusnya manusia saling memperlakukan satu sama lain. Setelah memahami “moral force” dari hak asasi manusia maka berikutnya adalah bagaimana mengimplementasikannya dalam bentuk mekanisme formal penegakan hukum.
Pengakuan terhadap HAM memiliki dua landasan sebagai berikut:
1. Landasan yang langsung dan pertama, yaitu kodrat manusia. Kodrat manusia adlah sama derajat dan martabatnya. Semua manusia adalah sederajat tanpa membedakan ras, agama, suku, bahasa, dan sebagainya.
2. Landasan yang kedua dan yang lebih dalam yaitu Tuhan mencipatakan manusia. Karena itu dihadapan Tuhan, manusia adalah sama kecuali nanti pada amalnya.
Prinsip HAM ada dua, yaitu:
1. Prinsip keseimbangan
a. Hak dengan kewajiban
b. Hak perorangan dengan kolektif
c. Hak kebebasan dan tanggung jawab
2. Prinsip kesatupaduan.
Dalam The Universal of Human Rights, dicantumkan macam-macam HAM, yaitu:
1. Personal Rights (hak asasi pribadi)
2. Property Rights (hak asasi ekonomi)
3. Legal Equality of Rights (hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum dan pemerintahan)
4. Political Rights (hak asasi politik)
5. Judicature and Custody Rights (hak asasi pengadilan dan tahanan)
6. Education Rights (hak asasi pendidikan)
7. Wages and Occupation Rights (hak asasi upah dan pekerjaan)
8. Social and Cultural Rights (hak asasi sosial dan kebudayaan)
B. Sejarah Perkembangan HAM
Penghormatan, perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM secara serius harus selalu dilakukan, dimanapun manusia berada. Hak asasi manusia lahir dari sebuah upaya masyarakat dalam mewujudkan jati diri, harkat dan martabat manusia. Martabat manusia merupakan inti dari hak asasi manusia1. Konsep hak asasi manusia sendiri telah muncul dalam pemikiran bangsa Eropa sejak beberapa abad yang lalu.
Setidaknya terlihat dari Konsep Magna Charta, yang timbul ketika penguasa saat itu – King John - melanggar prisnip-prinsip yang tercantum dalam hukum tradisional. Pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa saat itulah yang kemudian memaksa masyarakat pada saat itu meminta penguasa menandatangani Magna Charta. Dalam Magna Charta itulah terdapat konsep-konsep yang kemudian dikenal dengan hak asasi manusia2
Perkembangan berikutnya adalah ketika pada akhir abad 18 dua revolusi yang cukup penting terjadi. Pertama, ketika Negara-negara koloni Inggris yang menyatakan kemerdekaan mereka tahun 1776 yang melahirkan dokumen American Declaration of Independence. Disusul pada Tahun 1789, Prancis melakukan revolusi dan mendeklarasikan perubahan bentuk dari monarki ke republik yang menghasilkan Declaration of the Rights of Man. Dokumen tersebut menyatakan bahwa manusia diciptakan sederajat. Maka ketika kebrutalan terjadi pada Perang Dunia I, dunia semakin sadar bahwa perlu adanya upaya menjaga hak-hak semua orang. Dan setelah Perang Dunia II Delegasi dari 50 negara berkumpul untuk merancang United Nation Charter pada tahun 1945. UN Charter ini yang kemudian membuat dan menyatakan bahwa hak dan kebebasan manusia seharusnya tidak hanya menjadi permasalahan lokal saja tetapi juga internasional. Karena Piagam PBB ini tidak mampu menjawab permasalahan hak asasi manusia, maka pada tanggal 10 Desember 1948 dilahirkanlah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM kemudian dengan jelas menggambarkan bahwa secara konsep hak asasi manusia saling berhubungan, atau tidak dapat dipisahkan, dan bersifat universal. Perdebatan yang terjadi tentang keterhubungan hak asasi manusia terutama pada hubungan antara hak sipil dan politk dan hak ekonomi, sosial dan budaya4. Walaupun demikian kesepakatan bahwa hak asasi manusia adalah interrdependent tetap diakui.
C. Pelanggaaran HAM
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
1. Pelanggaran HAM biasa
2. Pelanggaran HAM berat terdiri dari:
a. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
v Membunuh anggota kelompok;
v mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
v menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
v memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
v memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
v pembunuhan;
v pemusnahan;
v perbudakan;
v pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
v perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
v penyiksaan (setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik. Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM);
v perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
v penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
v penghilangan orang secara paksa (tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM); atau
v kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
D. Lembaga HAM
Di sekitar tahun 1960-n dan 1970-an pembicaraan mengenai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia makin terfokus9. Saat itulah kemudian dirasa perlu untuk membentuk standar internasional pembentukan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia.
Sejalan dengan itu, Seminar tentang Lembaga-Lembaga Nasional dan Lokal bagi Perlindungan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia diadakan di Jenewa dari 18-29 september 1978 . Lokakarya ini kemudian melahirkan Pedoman yang menyarankan fungsi Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia untuk bertindak sebagai sumber informasi hak asasi manusia bagi pemerintah dan masyarakat Negara itu; membantu membentuk pendapat masyarakat, serta meningkatkan kesadaran dan penghormatan hak asasi manusia; memikirkan , merundingkan dan membuat rekomendasi mengenai setiap tingkat hubungan yang mungkin terjadi secara nasional dan yang mungkin ingin dirujuk oleh pemerintah; memberikan saran mengenai setiap pertanyaan tentang ham yang diajukan pemerintah kepada mereka .
Sehubungan dengan struktur lembaga seperti itu, pedoman tersebut juga merekomendasikan struktur yang sebaiknya komposisinya mencerminkan perwakilan yang mewakili keseluruhan Negara tersebut dan dengan demikian menyertakan semua bagian penduduk ke dalam proses pembuatan keputusan mengenai hak asasi manusia; bekerja secara rutin dan bahwa akses langsung kepada mereka haus tersedia bagi setiap anggota masyarakat atau pejabat publik; apabila perlu memiliki badan-badan penasihat lokal atau regional untuk membantu mereka dalam melaksanaan fungsi-fungsi mereka. Pedoman ini kemudian disahkan oleh Komisi Hak Asasi manusia dan Majelis Umum PBB.
Secara umum konsep lembaga hak asasi manusia adalah lembaga yang berfungsi secara khusus dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Sebagian besar lembaga nasional hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi dua kategori besar yaitu Komisi Hak Asasi Manusia dan Ombudsman. Adapun Lembaga yang Khusus menagani kelompok rentan dalam hal ini perempuan, anak, masyarakat adat dan penduduk asli juga dapat digologkan ke dalam kelompok Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia.
1. Komisi Hak Asasi Manusia.
Komisi ini bersifat mandiri yang keanggotannya terdiri dari individu yang memiliki keragaman latar belakang. Salah satu fungsi penting dari Komisi ini adalah menerima dan memeriksa pengaduan dari perseorangan dan kadang-kadang dari kelompok mengenai dugaan penyalahgunaan hak asasi manusia yang dilakukan sebagai pelanggaran dari hukum nasional yang ada.13 Selain itu komisi ini juga memiliki fungsi untuk secara sistematik meninjau kembali kebijakan pemerintah di bidang hak asasi manusia untuk menilai hasil-hasil penataan hak asasi manusia dan menyarankan langkah-langkah perbaikan. Selain itu komisi juga memantau Negara atas pelaksanaan hukum-hukumnya sendiri begitupun halnya dengan hukum hak asasi manusia internasional bila perlu memberikan rekomendasi-rekomendasi agar terciptanya sebuah perubahan. Indonesia memiki komisi hak asasi manusia yang dikenal dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
2. Komisi Ombudsman.
Lembaga ini dapat terdiri dari satu orang atau sekumpuan orang yang dipilih oleh parlemen. Obudsman memiliki fungsi melindungi individu yang merasa menjadi korban perlakuan yang tidak adil. Secara umum fungsi utama dari ombudsman adalah menjamin keadilan dan legalitas dalam administrasi publik. Aktivitas atau jenis kegiatan yang dilakukan oleh lembaga Ombudsman adalah menerima pengaduan dan melakukan penyelidikan terhadap kasus yang kemudian mereka tangani, selain itu mereka juga berhak memberikan ekomendasi kepada pemerintah atau pihak bertikai lainnya berdasarkan hasil penyelidikan dari kasus yang mereka tangani.
Walaupun secara umum fokus dari Ombdusman adalah pengaduan individual, namun tidak menutup kemungkinan terhadap aktivitas lain yang lebih luas mengenai perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Proses pendirian Ombudsman di Indonesia terjadi pada tahun 2000, tepatnya pada 20 Maret 2002 Komisi Ombusman Indonesia berdiri dengan dasar hukum Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000.
3. Lembaga Khusus
Yaitu lembaga yang dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk meilindungi kelompok rentan yang terdapat di negara tersebut. Mereka melakukan fungsi dengan fokus pada kelompok tertentu misalnya dari orang dari kelompok agama, suku bahasa dan bangsa minoritas tertentu. Atau mereka yang datang dari kelompok rentan lain seperti anak-anak, perempuan, pengungsi bahkan kelompok miskin dan kelompok cacat.
Ketiga lembaga tersebut diatas adalah sarana untuk memantau Negara dalam pelaksanaan pemajuan hak asasi manusia. Kesemuanya harus mampu menunjukkan efisiensi dan efektifitas mereka dalam menjalankan fungsinya.
E. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia
§ Pra Kemerdekaan Republik Indonesia .
Ide-ide mengenai jaminan hak asasi manusia di Indonesia terefleksi secara nyata dalam kultur masyarakat Indonesia . Penyelesaian sengketa secara melalui pemuka-pemuka adat menjadi ciri bahwa permasalahan hak asasi manusia memiliki urgensi krusial untuk diselesaikan. Percikan pemikiran mengenai hak asasi manusia pada masa pra kemerdekaan dapat dibaca dalam kumpulan surat-surat R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang menceritakan betapa pentingnya hak atas pendidikan dan persamaan derajat, selanjutnya pada karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad yang isinya adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda.
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa. Boedi Oetomo memiliki tujuan yaitu Medewerking to de verwezenlijking van de Indonesische Eenheidsgedachte (turut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia . Selain itu, Boedi Oetomo telah pula memperlihatkan kepeduliannya tentang konsep perwakilan rakyat. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kewajiban mempertahankan negeri di bawah pemerintahan kolonial.
Selanjutnya, pemikiran hak asasi manusia pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi tokoh organisasinya seperti Moh. Hatta, Nazir, Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A Maramis, dan lain-lain. Pemikiran itu lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination). Selanjutnya, Sarekat Islam merupakan organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis. Konsep HAM yang dikemukakan oleh organisasi ini menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Selanjutnya, Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai yang berlandaskan pada Marxisme.
Dari segi pemikiran HAM partai ini lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat-alat produksi. Organisasi yang juga konsen terhadap HAM ada pada Indische Partij yang memiliki konsep pemikiran HAM paling yakni hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, Douwes Dekker menyatakan bahwa kemerdekaan itu harus direbut. Kemudian Partai Nasional Indonesia yang dalam konteks pemikiran HAM mengedepankan hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination).
Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Moh. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan yang menerapkan taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik, ekonomi dan sosial. Perdebatan pada sidang BPUKPI mengenai perlu dimasukkannya hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia menjadi tonggak penting dalam diskursus pemikiran hak asasi manusia selanjutnya. Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut Staatsidee.
Dasar negara Indonesia tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme namun berlandaskan pada asas kekeluargaan dan gotong royong. Oleh sebab itu pemikiran mengenai hak asasi manusia tidak perlu dicantumkan dalam konstitsui. Hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Hatta menegaskan kekhawatirannya jika Indonesia nantinya akan terjebak pada pemberian kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara sehingga menjadi negara dengan otoritarianisme. Yamin dalam pidatonya kemudian menyatakan “Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Pendapat Hatta dan Yamin didukung pula oleh anggota BPUPKI yang lain yakni Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).
§ Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Pada 1945-1950
Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self detemination), hak kebebasan berserikat, melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Hal ini tidak lepas dari fakta sejarah yang menunjukkan upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu yang telah melancarkan agresi militer Belanda I dan agresi militer Belanda II.
Puncak penegakan hak asasi manusia pada masa ini ditandai dengan penyerahan kedaulatan melalui perjuangan diplomasi pada Konferensi Meja Bundar. Pada tahun 1950-1959 Presiden Soekarno pada masa ini memerintah dengan menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Ada beberapa pemikiran penting mengenai perkembangan hak asasi manusia pada masa ini yakni:
a. semakin banyak tumbuh partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing.
b. kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
c. pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair dan demokratis.
d. parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol/pengawasan yang semakin efektif terhadap eksekutif.
e. wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya sistem kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Pada tahun 1959-1966
Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini kekuasaan terpusat pada tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam perspektif pemikiran hak asasi manusia, telah terjadi pengekangan hak asasi masyarakat terutama hak sipil dan hak politik. Dengan kata lain telah terjadi restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer. Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Pada masa ini Kebebasan partai dibatasi dan Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Era Demokrasi Terpimpin ini merupakan kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada tahun 1966-1998
Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia yang menghasilkan “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Pada masa ini banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis dan sitemik seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Namun perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia ini telah menunjukkan sikap akomodatif dari pemerintah dalam memenuhi tuntutan penegakan hak asasi manusia yakni dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan KEPRES No. 50 tahun 1993.
Pada tahun 1998-kini
Perkembangan pemikiran hak asasi manusia pada masa reformasi ini kembali mengalami progres yang signifikan. Hal ini ditandai dengan ratifikasi ketentuan pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) melalui UU No. 11 Tahun 2005 serta Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) melalui UU No. 12 Tahun 2005
Penegakan hak asasi manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban hukum. Moral dalam arti luas mengandung makna human caracter, conduct, intention, social relation sehingga dalam moral bermakna human conduct. Tingkah laku bermoral tidak saja berkaitan dengan kelakuan baik, tetapi tingkah laku yang mengandung makna dan isi adanya kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Bentuk tingkah laku tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok etika. “ethics is also moral philosophy...ethics is the study of human custom...Hence ethics is the study of right and wrong, of good and evil in human conduct.
SUMBER :
- Tim Dosen Kewarganegaraan UNJ. 2010. Pokok-Pokok Materi Kuliah Kewarganegaraan Edisi Revisi. Jakarta.
- Bunga-legal.blogspot.com
- Gurupkn.wordpress.com
- Organisasi.org
0 komentar:
Posting Komentar